SEBUAH
POTENSI ENERGI YANG MASA DEPAN DAPAT DIPERTIMBANGKAN UNTUK DIKEMBANGKAN DI
INDONESIA
Berangkat dari materi kuliah yang salah satu nya
membahas tentang pemanfaatan sumber daya kelautan, alangkah baik nya kita
mengetahui tentang teknologi – teknologi masa terkini didunia yang mungkin
dapat dikembangkan di Negara tercinta kita yaitu Indonesia.
Lautan luas, puluhan ribu kilometer panjang bibir
pantai, garis ekuator, dan guyuran sinar matahari sepanjang tahun. Artinya apa?
Negeri yang panas, yang penduduknya terpisah pulau-pulau sehingga pengembangan
negaranya menjadi sulit. Namun, dari semua faktor tersebut ada sebuah potensi
energi yang dinamakan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yang di masa
depan dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan karena seharusnya disadari,
negeri ini bukan negeri yang kaya sumber energi fosil dan masih saja menggantungkan
kebutuhan energi dan devisa dari sektor ini.
Ilustrasi fasilitas offshore OTEC
Apa Itu
OTEC?
Ocean Thermal Energy Conversion atau OTEC adalah
metode pembangkitan energi listrik menggunakan perbedaan temperatur antara
dasar laut dan perairan permukaan untuk menjalankan heat engines.
Seperti pada umumnya mesin kalor, efisiensi dan energi terbesar dihasilkan oleh
perbedaan temperatur yang paling besar, sesuai Hukum Kedua Termodinamika.
Biasanya digunakan rule-of-thumb perbedaan temperatur 20°C untuk memastikan
fasilitas OTEC dapat berjalan dengan baik. Tantangan terbesarnya adalah
efisiensi heat engines yang masih dibawah 6% karena operasi ada pada perbedaan
temperatur yang kecil, artinya lebih dari 90% energi panas yang di ekstraksi
dari permukaan laut “terbuang”. Untuk pembangunan fasilitas pembangkitnya dapat
dilakukan di darat ataupun dengan platform terapung di tengah laut, semakin
jauh sumber energy dari garis pantai tentu biayanya akan semakin besar.
Ada 3
jenis cyclic heat engines yang digunakan, closed-cycle, open-cycle, dan hybrid
system.
1.
Closed-Cycle (Siklus Tertutup):
closed-cycle OTEC
Adalah konsep pertama system OTEC. Untuk
memperoleh efisiensi yang tinggi, maka working fluid yang digunakan memutar
turbin guna membangkitkan listrik dalam fasa gas (sistem Rankin). Karena sulit
untuk mendidihkan air laut dengan suhu permukaan maka pada closed-cycle system
digunakan fluida dengan titik didih rendah (seperti ammonia atau Fluorocarbon
refrigerants). Air hangat digunakan untuk mengevaporasi working fluid dan air
dingin dari dasar laut digunakan sebagai condenser, sehingga tercipta kondisi
perbedaan temperature yang akhirnya dikonversi menjadi energi kinetik pemutar
turbin. Kekurangan system ini adalah heat exchanger model ini mahal, selain itu
fluida pembangkit berkategori bahan berbahaya sehingga beresiko jika terjadi
kebocoran sistem.
2.
Open-Cycle (Siklus Terbuka):
Untuk mengatasi kekurangan dari closed-cycle
system, dikembangkanlah open-cycle dengan menggunakan air laut permukaan yang
hangat sebagai working fluid untuk membangkitkan listrik. Air
laut diberi kondisi vakum sehingga terjadi flash evaporation, uap inilah yang
digunakan untuk memutar turbin. Kekurangan sistem ini adalah efisiensi mesin,
kurang dari 0,5% massa air hangat yang dapat dievaporasi, sehingga dibutuhkan
flow rates besar yang diakomodasi dengan komponen besar, namun tetap sistem ini
memangkas ongkos mahal heat exchanger closed-cycle.
3.
Hybrid System (Siklus Gabungan):
Siklus hybrid menggunakan keunggulan sistem
siklus terbuka dan tertutup. Siklus hybrid menggunakan air laut yang diletakkan
di tangki bertekanan rendah (vacuum chamber) untuk dijaikan uap. Lalu uap
tersebut digunakan untuk menguapkan fluida bertitik didih rendah (amonia atau
yang lainnya) yang akan menggerakkan turbin guna menghasilkan listrik. Uap air
laut tersebut lalu dikondensasikan untuk menghasilkan air tawar desalinasi.
Keekonomian
OTEC
Muhammad menjelaskan peluang investasi
pengembangan energi laut cukup bersaing jika dibandingkan sumber-sumber energi
terbarukan lainnya seperti tenaga air skala besar yang membutuhkan biaya 1.500
– 2.000 $/kW, mini/mikro hidro 1.000 – 2.000 $/kW, panas bumi 910 – 1.500 $/kW.
Biaya investasi belum bisa diketahui di Indonesia
tetapi berdasarkan uji coba di beberapa Negara industri maju biaya investasi
sebesar 4.000 – 10.000 $/kW dan harga listrik berkisar 7 - 15 sen /kWh. Nilai
tersebut belum ekonomis mengingat regulasi PLN yang menetapkan harga beli
listrik dengan rentang 7-9 sen/kWh. Bahkan ada literatur yang menyebutkan
pengembangan skala kecil di rural area, yang merupakan tipikal pasar untuk OTEC
ini, sebesar 30-60 sen/kWh. Tentu ini tidak menarik untuk ukuran Indonesia
dengan status Negara berkembangnya dan ketergantungannya kepada fasilitas pembangkit
listrik fosil yang lebih dulu mapan dan murah.
Namun, Muhammad, seorang mahasiswa Offshore
Engineering TU Delf yang saat ini bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan
menuturkan biaya investasi energi laut 500 – 1.000 dolar AS per kW sedangkan
harga per kWh sebesar 0,045 – 0,09 dolar AS. Tentu jika nilai ini benar peluang
investasi untuk pengembangan OTEC di Indonesia dapat dilakukan. Bagaimanapun,
pengembangan skala besar, antara 50-100 MW akan memberikan nilai keekonomian
yang lebih tinggi disbanding pengembangan skala kecil.
Benefit
Lingkungan dan “Produk Samping” Teknologi OTEC
Sebagai sumber energy terbarukan dan ramah
lingkungan, penggunaan OTEC mengurangi dampak buruk penggunaan energy fosil
seperti pembukaan lahan untuk ekploitasi, emisi gas buang bahan bakar fosil dan
limbah lain yang dihasilkan, dan secara ekologi berdampak positif karena akan
memperkaya nutrisi pada permukaan air laut. Namun begitu, belum ada analisa
komprehensif dampak pengembangan fasilitas OTEC terhadap lingkungan.
Walaupun biaya investasi awal OTEC masih
dipandang terlalu mahal, namun riset termutakhir menunjukkan berbagai potensi
produk samping OTEC yang bermanfaat, sehingga dapat meningkatkan nilai
ke-ekonomian dari teknologi OTEC. “Produk Samping” dari OTEC tersebut antara
lain :
1. Pendingin
suhu permukaan. Konsepnya adalah residu air dingin yang dipompakan dari dasar
laut dapat digunakan untuk mendinginkan suhu permukaan dan mengurangi efek
pemanasan global, apalagi suhu daerah tropis yang panas. Aplikasinya bisa bermacam-macam,
mulai dari penggunaan sebagai air conditioner pemukiman warga, dapat juga
sebagai aplikasi pertanian dan perikanan, sehingga dimungkinkan pembudidayaan
produk yang membutuhkan suhu sejuk dalam proses pembudidayaannya. Selain itu
dapat dikurangi efek buruk naiknya temperatur permukaan seperti badai.
2. Air
tawar. Air tawar yang dihasilkan dari proses vaporisasi dan kondensasi dapat
digunakan sebagai konsumsi atau irigasi pertanian terutama untuk pulau kecil
sekitar fasilitas yang sulit mendapat akses air tawar.
3. Nutrisi
air laut dalam. Air laut dalam kaya akan nutrient dan rendah pathogen, sehingga
sangat baik untuk budidaya organisme laut.
Potensi
Pengembangan OTEC di Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak
di daerah tropis, di mana perairan di wilayah Indonesia umumnya memiliki
perbedaan suhu air permukaan dan laut dalam yang sangat tinggi, serta memiliki
intensitas gelombang laut dan kemungkinan badai yang kecil, sehingga sangat
cocok dalam pengembangan teknologi OTEC. potensi panas yang dihasilkan panas
laut sebesar 2,5 x 1023 joule dengan efisiensi listrik 3 persen atau hampir
setara 240.000 MW.
Perbedaan temperatur antara permukaan dan dasar
laut
Selain itu, demografi
masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil atau daerah pesisir terpencil
masih belum tersentuh pengembangan infrastruktur listrik, yang memang sulit
mengembangkan pembangkit di daerah seperti itu. Dengan pengembangan
infrasturktur dan hasil sampingannya seperti ini, diharapkan pembangunan bangsa
juga dirasakan di daerah rural, dengan lebih merata.
Tipikal laut Indonesia dalam
dan mempunyai perbedaan temperature tinggi . Sehingga OTEC dapat dikembangkan
di daerah selatan Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali untuk pengembangan dengan pasar
yang besar dan hampir di seluruh kepulauan daerah Indonesia tengah dan timur
untuk menjangkau daerah rural dengan pasar yang kecil.
Beberapa pihak swasta di
Indonesia sebenarnya telah mengembangkan teknologi ini hingga mencapai tahap
komersial, namun jumlahnya masih terbatas sehingga pemanfaatan teknologi ini
belum memberikan andil yang besar. Di samping itu perlu adanya perhatian dan
keterlibatan dari pemerintah yang besar untuk pengembangan dan pemanfaatan
energi alternatif dari laut tersebut, sebagai salah satu upaya menghadapi
krisis energi yang terjadi di masa kini.
Satu kendala lagi adalah
ketergantungan terhadap pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Bahkan untuk
konversi BBM atau batubara ke gas alam, yang cadangan dan potensinya besar di
Negara ini, itupun membutuhkan proses lama, dan masih besar keengganan untuk
mengembangkan pembangkit energi terbarukan. Solusinya memang masih subsidi, dan
subsidi sangat besar kaitannya dengan kebijakan, yang kemungkinan tiap 5 tahun
bisa berganti.